Hari kedua . . .
Sinar mentari menyelinap masuk melalui celah
– celah daun. Riuh ombak pagi itu bercampur dengan suara keramaian para wisatawan
lokal, ada juga penduduk setempat yang bersiap memulai aktivitasnya. Sambil menunggu
masakan matang, beberapa dari kami sibuk berbenah, namun ada juga yang masih menunggu
nyawa yang masih berlari di alam mimpi..
Sesuai kesepakatan evaluasi semalam, kami
harus siap berangkat pukul 09.00 WIB. Bahkanpukul 08.45 WIB kami sudah berdoa bersama
dan siap menyimak kecantikan sang “Ratu Selatan”. LET’S GO!!!!!!
Yogas sebagai leader mengawali langkah perjalanan
kami. Pantai cibangban memiliki tekstur pasir yang lembut dan berwarna putih kelabu.
Pemandangan laut yang biasanya kosong, kali ini dihiasi oleh keramba – keramba milik
penduduk setempat. Masyarakat pesisir pantai cibangban mayoritas ber-profesi sebagai
pencari ikan, peternak ikan, dan pedagang.
Keramba - keramba terlihat dari kejauhan
Namun tak berapa lama kami berjalan, kami
bertemu dengan bapak tua yang sedang mendulang emas. Kegigihan tampak dari raut
wajah yang keriput. Demi menghidupi keluarga, beliau rela “menantang” deburan ombak
yang cukup besar.
Dengan ramah beliau menyambut senyum dan sapa
kami, didorong rasa penasaran, pertanyaan demi pertanyaan pun mulai diutarakan.
Dari apa yg beliau lakukan? Berapa pendapatannya?
“Pendapatan saya tidak menentu, kadang 1gr
emas/hari, itu pun tidak menentu, lebih sering tidak dapat”, ujar si Bapak.
Bapak pendulang pasir
Dari beliau juga kami mendapatkan informasi bahwa
karang yang ada didepan kami disebut karang Haji & tidak bisa dilewati sampai
garis pantainya karena tertutup air laut. Namun demi mengobati rasa penasaran, kami
tetap mencoba melihat dari dekat. Dengan perlahan kami meyusuri karang tersebut,
sedikit curam namun masih bisa dilalui sampai langkah kaki ini terhenti di
bibir karang yang langsung menjorok ke laut.
Karang Haji
Di Karang Haji ini terdapat GOA, goa karang
Haji namanya, menurut masyarakat sekitar Goa ini sering dijadikan tempat mencari
“ilham”. Mulut Goa lumayan besar & termasuk horizontal.
Goa Karang Haji
Setelah orientasi medan dan berunding kami
memutuskan untuk “melambung”. Karena aspek kerugiannya lebih banyak, dari tali rawan
putus tergesek oleh karang, rugi waktu hingga terseret ombak.
Pada saat pelambungan kami bertemu dengan seorang
bapak penjaga warung yang memberi arahan jalan yang bisa kami lewati untuk mencapai
pantai berikutnya. Pelambungan ini lumayan berat, karena kami harus melangkah
di atas aspal yang menanjak. Sampai akhirnya kami tiba lagi di bibir pantai.
Melambung
Terik matahari seakan membakar muka. Namun sebagai
sebuah tim kami saling menyemangati. Pantai yang kami tapaki saat ini bernama PasirBatu.
Dinamakan Pasir Batu mungkin karena di pantai ini banyak terdapat batu. Sepanjang
pantai jarangsekali kami temukan pasir, seolah batu – batu menggantikan peran pasir.
Pantai Pasir Batu
Di sini kami banyak bertemu warga yang
berprofesi sebagai pemecah batu. Menurut mereka batu – batu yang mereka kumpulkan
akan dikirim ke Jakarta dan kota – kota besar lainnya. Setiap harinya meraka mampu
mengumpulkan sekitar 5 karung /org. Bayangkan apabila setiap harinya ada 10 –
15 orang pencari batu.
Mungkin beberapa tahun lagi batu – batu yang terdapat di
pesisir pantai Pasir Batu akan habis tak bersisa. Namun apalahdaya, sebagai masyarakat
lokal, meraka hanya berharap mendapat nafkah dari batu selain mencari ikan.
Diperburuk dengan adanya sebuah jembatan yang ambruk , apabila debit air muara
tersebut naik, mereka akan kesulitan dalam beraktifitas.
Jembatan yang ambruk di Pasir Batu
Waktu
baru menunjukan pukul 10.15, namun matahari terlihat lebih semangat dari biasanya.
Di ujung pantai terlihat pohon besar yang melambai – lambai seakan mengajak kami
untuk rehat sejenak di teduh bayangnya, membuat kami semakin mempercepat
langkah kami untuk mencapai pohon besar itu.
Tiba di pohon besar, kami memutuskan untuk merebahkan
lelah sekaligus berlindung dari sengatan matahari. Diantara kami ada yang tetap
bergerak melihat sekitar.Ternyata di sekitar pohon besar tersebut banyak terdapat
pohon markisa yang bisa kami santap. Lumayan mengobati dahaga kami.
Tak lama beristirahat, kami
melanjutkan perjalanan kembali. Sepanjang jalan yang kami temui hanyalah pasir batu
yang ukurannya beragam. Sampai tiba di ujung pantai kami dihadang oleh karang besar.
Beberapa orang anggota melangkah lebih dahulu untuk memastikan jalur yang kami
lewati. Syukurnya karang ini tak terlalu sulit untuk dilewati walaupun kami
harus sedikit merayap untuk bisa sampai di bawah karang tersebut.
Selepas
karang tersebut, medan batu coral kembali kami temui, namun lebih panjang
hingga membuat dua pasang sepatu rekan kami jebol yaitu punya Husni &
Bores. Baru beberapa jam perjalanan sudah ada 2 sepatu yang jebol sehingga mereka
memutuskan menggunakan sepatu sandal. Bagaimana 4 hari kedepan? “benak saya “.
Medan Batu Coral
Di Medan
batu coral ini, pejalanan sedikit melambat karena membuat telapak kaki sakit sehingga harus
memilah & memilih batu pijakan. Kami menyebutnya “Jalur Batu Bete”, salah
satu candaan kami dalam perjalanan.
Menjelang tengah hari, kami belum bisa
berpijak di pasir, medan masih batu coral. Sehingga kami memutuskan untuk
“MAKSIAT” alias Makan Siang & Istirahat, kami beristirahat siang di dekat
ladang warga, berpanoramakan ombak besar yang menghantam batu – batu coral
sehingga paduan tersebut membuat suaranya seperti kelereng – kelereng yang di
adu. Menakutkan!!
Di waktu istirahat ini, kami berbagi
tugas. Tugas pertama adalah resection yang di ambil alih oleh babun & yogas, tugas kedua adalah memasak
diambil alih oleh otoy dan yang tidak kalah pentingnya adalah tugas untuk
mengambil buah kelapa diambil alih oleh Saya, Bores & Husni. Tak kurang
dari 10 buah kelapa diambil untuk melepas dahaga di siang yang terik itu.
Jam menunjukkan pkl 14.25 wib, kami siap
melanjutkan perjalanan. Tiba di muara Cibareno yang merupakan batas wilayah
antara propinsi Jawa Barat dengan Banten, di sungai yang lebar ini kami
menyebrang tanpa bantuan alat khusus, karena arus & kedalamannya masih
relatif normal. Muara Cibareno adalah muara yang memiliki lebar ± 150 m dipeta,
namun pada kenyataannya muara cibareno memiliki 2 cabang di hilirnya. Muara ini
masih dimanfaatkan para penduduk sekitar untuk mencari ikan untuk dikonsumsi
sendiri.
Cibareno cabang 1
Cibareno Cabang 2
Menyebrang Cibareno cabang 2
Aktifitas menjebak ikan & alat yang digunakan
Selepas Cibareno medan yang di hadapi
berupa karang, semua rintangan medan lintasan hari ini dapat kami lewati dengan
baik. Masalah paling berat justru adalah badan yang belum beradaptasi dengan
aktifitas yang dilakukan sehingga terasa sangat melelahkan.
Menjelang sore kami melewati tj. Karang
Bereum yang merupakan salah satu Best
Moment dalam perjalanan ini. Di Karang Bereum kami menemukan Goa seperti selokan, karena air laut masuk
melalui mulut Goa nya. Setelah Tj. Karang Bereum, kami tiba di sebuah Teluk
yang di apit oleh dua Tanjung yaitu Tj. Karang Bereum & Tj. Karang Ujung.
Best moment : Melewati karang Bodas
Goa di Karang Bodas yang seperti "selokan "
Karang Bodas
Panorama diteluk ini sangat eksotis, karena
memiliki pasir putih yang luas , diapit antara dua tanjung, terdapat sawah penduduk dan ada
sebuah muara, muara Citarate yang bisa dimanfaatkan untuk melepas lelah &
membersihkan badan. Air di Muara ini layak untuk diminum, masih terlihat jernih
& rasanya tawar tidak payau. Kami
memutuskan untuk mendirikan perlindungan di dekat muara ini.
Perlindungan malam ini kami dirikan diatas
pasir putih teluk ini. 1 buah tenda & 1 Flysheet yang sedikit dimodifikasi
menjadi tempat berlindung kami ber-enam malam ini. Agenda memasak, makan
kemudian Evaluasi kami lakukan seperti kegiatan – kegiatan sebelumnya. Evaluasi
ini bertujuan untuk melihat kekurangan – kekurangan hari ini dan untuk menyusun
strategi esok hari. Semoga malam ini kami tidur nyenyak,,
To be continued………………
0 comments:
Post a Comment