Wakil Menteri Sumber Daya Mineral, Widjajono Partowidagdo, tutup usia pada umur 61 tahun. Penggiat alam bebas itu dikabarkan mengalami serangan stroke saat mendaki Gunung Tambora, di Kepulauan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu 21 April 2012.
Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo saat mendaki Puncak Kerinci setinggi 3805 meter pada tahun 1996
Widjajono adalah professor pengamat perminyakan yang telah menaklukkan 40 gunung tertinggi di dunia. Sebelum ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Wamen ESDM, lelaki kelahiran Mangelang, Jawa Tengah, 16 September 1951 itu, adalah anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan juga Guru Besar Program Studi Teknik Perminyakan Intitut Teknologi Bandung (ITB).
Alumnus Teknik Perminyakan ITB lulusan 1975 ini memang selalu tampil nyentrik dengan rambutnya yang gondrong. Aura kesederhanaan selalu terpancar dari wajahnya.
Widjajono mengawali karir di almamater tempatnya menutut ilmu sebagai pengajar di jurusan Teknik Perminyakan, dan pengajar Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB sejak 1993, dan pengajar di Pasca Sarjana Teknik Manajemen Industri ITB hingga tahun 2000. Ia kemudian menjadi Kepala Kajian Ekonomi Energi pada Pusat Penelitian Engergi (PPE), kelompok Kajian Pengembangan Energi (KPPE).
Tak hanya itu, Widjajono juga pernah menjadi Dewan Redaksi Jurnal Ekonomi Lingkungan, Pemred Jurnal Studi Pembangunan ITB, Konsultan Pertamina untuk Penawaran Kontrak Join Operation Body (JOB). Anggota Senat ITB 1994-1997. Majelis Guru Besar ITB hingga sekarang, dan masih banyak lagi sederet posisi penting yang pernah diembannya di ITB.
VIVA news pernah kedatangan Widjajono, pada Rabu pagi, 30 November 2011, pukul 08.00 WIB. Saat itu penampilannya memang tak seperti Wakil Menteri, mengenakan kemeja besar tak dimasukkan dan tas kumal bermerek Pekan Energi Nasional 2011: Energi Pro Rakyat. Tak ada tanda, kalau yang datang itu wakil menteri.
Widjajono adalah petinggi negeri yang unik, dan berani berkata apa adanya. Termasuk mengatakan perlunya pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, saat itu pemerintah sedang berencana menaikan harga BBM.Widjajono lebih suka berkata terus terang dan tidak berpura – pura. 
Sederet pengalaman diceritakan Widjajono saat menggeluti hobinya mendaki gunung. Di gunung pula ia menghebuskan nafas terakhirnya. Ini petikan wawancara VIVA news dengan Widjajono soal hobinya itu.

Bagaimana pengalaman Anda dalam menaklukkan gunung?
Kalau mau naik gunung, naik saja. Tapi kalau ada larangan, lebih baik ikuti saja: jangan naik. Beberapa waktu lalu saya ke Rinjani sama tvOne. Ada larangan dari Dinas Kehutanan.
Tapi kami tetap ingin naik. Mereka akhirnya setuju menemani kami dengan syarat, yang boleh menentukan sampai puncak atau tidak, adalah mereka. Bapak-bapak ini menemani lengkap mengenakan pakaian dinas. Belakangan kami tahu, di tengah perjalanan cuaca sangat buruk: petir di mana-mana. Kami satu rombongan memutuskan turun.

Sudah berapa gunung yang sudahditaklukkan?
Hampir 50 gunung, 40 lebih. Kalau di Indonesia awalnya naik gunung sama mahasiswa UPN Yogya. Saya kan dulu sering menguji di UPN, bukan dosen tapi penguji. Mereka kalau ingin disamakan, harus diuji oleh ITB.
Nah, saya bukan dosen, tapi penguji.Setiap tahun menguji, dan setiap tahun itu saya naik gunung bersama mereka: anak Mapalanya. Saya senang naik gunung bersama anak UPN itu karena mereka yang bawain barang saya, kalau sama mahasiswa ITB suruh bawa barang sendiri. Gak kuat saya, hehehehe.

Pertama kali naik gunung umur berapa?
Pertama kali naik Gunung Gede itu masih SMA. Saya di SMA 5 Bandung. Waktu itu saya masih kuat sekali.Kalau Gunung Gede saya sering naik sama ibu – ibu Equatorial Peaks for Lupus (E4L), mereka kuat – kuat loh. Bahkan ada yang masih single juga sih. Mereka gak terkena lupus, tapi menyiarkan penyakit lupus. Female tracker, seperti Ami Saragih, Diah Bisono, Amalia Yunita, Veronica, mereka terkenal – terkenal kok.

Punya pengalaman spiritual dari mendaki gunung?
Pengalaman spriritual saya naik ke Himalaya, di Kala Patthar, sebuah gunung hitam di Himalaya, Nepal, saya dikasih nasihat oleh pendeta Tibet, "Kamu kalau naik Himalaya jangan cepat-cepat, harus pelan. Dengan pelan kamu menghormati gunung ini dan menyesuaikan diri. Kalau kamu penyesuaian diridengan bagus, kamu diterima gunung ini dan kamu akan sampai. Tapi kalau buru-buru tidak akan sampai."
Akhirnya saya pelan – pelan sambil berdoa, berjanji kalau sampai saya tidakakan berbuat jahat lagi. haha

Itu tahun berapa?
2007. Kala Pattaritu basecamp Everest, tapi sekarang dipindahin lebih rendah lagi. Saat itu kami bertemu tim dari Malaysia mau ke Everest. Dalam website mereka ditulis ketemu Profesor Widjajono dan mereka sangat bangga.Dari tujuh pendaki Malaysia, enam sampai dan satu tidak.Yang satu itu bekas menteri.

Pengalaman paling menantang?
Ya tentunya Aconcagua. Yang gak sampai itu dan El-bruce, Mesir.Di Elbruce saya gak sampai juga, itu team.Ada petir dan hujan badai. 
Sebenarnya kalau saya tidak ikut tim internasional, saya masih bisa menunggu. Kalau ikut tim local saya bisa nunggu hingga cuaca bagus lalu naik lagi, tapi karena ikut tim internasional mereka langsung pindah lagi ketempat lain. Jadi saya kalau nanti naik lagi ke Elbruce, saya akan ikut tim lokal.
Yang Aconcagua itu sama tvOne juga. Salahnya berangkat sudah awal Februari, karena awal Februari sudah masuk musim dingin, jadi cuacanya sudah jelek. Itu sudah diumumkan tidak boleh naik seminggu kedepan karena cuaca buruk. Itu suhunya sudah seperti di kulkas, air itu beku dan setiap malam itu ditenda yang gak ada heater, pakai sleeping bag saja. Aku gak kuat kalau nunggu seminggu lagi, tim tv One nunggu seminggu lagi. Ternyata minggu depannya cuaca lebih buruk lagi, jadi mereka turun juga.

Fanatik naik gunung?
Saya gak fanantik, tapi senang jalan. Kalau di Bandung dulu, kalau tidak keTangkuban Perahu ya ke Maribaya atau ke Lembang setiap minggu. Saya bukan pemakan daging merah, karena dari bayi saya lepeh. Di Tangkuban Perahu sampai ada tukang nasi goring langganan yang tahu saya tidak makan daging.

Sudah umur 60 masih  gondrong?
Saya tidak merasa tua kok. Kita tuh tua kalau kita merasa tua. Sewaktu naik Himalaya saya ketemu 15 orang pendaki dari Korea, mereka mengatakan: Age ain't nothing but a number.
Mereka umurnya 55-70 tahun, dan masih mau naik Everest. Orang Korea itu punya kepercayaan umur di atas 60 tahun mereka merasa dilahirkan kembali karena shionya yang kembali, dan kebanyakan pemimpin di sana tua-tua karena wisdom-nya. 

Kepala Bidang Humas dan Protokoler Setda NTB Lalu Mohammad Faozal, sempat mejelaskan secara singkat kronologis saat serangan stroke menyerang Widjajono. Saat itu Wamen berkunjung ke Gunung Tambora pada 20 April pukul 16.30 WIB. Faozal menjelaskan, rombongan selanjutnya menuju puncak Tambora dengan menggunakan kendaraan roda dua dan tiba di puncak Gunung Tambora pukul 22.00 Wita. Wamen beserta rombongan bermalam di puncak GunungTambora.
Tanggal 21 April 2012 pukul 10.00 Wita, Wamen ESDM bermaksud untuk kembali. Namun tiba-tiba mendadak sakit dan akhirnya langsung dievakuasi turun dari puncak menujupos 3 lebih kurang 2 km dari puncak.
Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo saat mendaki puncak Rante Mario di Latimojong, Sulawesi

Sosok pejabat sederhana & bersahaja itu telah pergi.Indonesia kini kehilangannya. Seorang pemimpin karismatik yang masih menyempatkan diri mendaki gunung, berinteraksi dengan alam & mengenal langsung masyarakatnya. Di Gn Tambora itu engkau kembali kepangkuan-Nya. Selamat jalan Pak Widjajono Partowidagdo, Wamen ESDM.